samedi 30 mai 2009

Goresan Hati

Hati kembali tergores oleh benda yang tajam dan rasa nyeri pun kembali terasa. Langkah yang mana aku lewati, sehingga aku harus merasakan sakit ini kembali? Perasaan yang menguap, yang berbentuk sensitivitas, membuat kita menjadi bukan diri kita. Satu adegan yang bisa menghancurkan kewibawaan, ketenangan dan pengontrolan jiwa. Apa itu berarti aku masih harus banyak belajar agar bisa menekan rasa emosi ini? Sungguh, pemandangan itu membuat aku bereaksi seperti seorang anak kecil.

Aku berlari. Tidak lama, hanya sekitar 30 detik. Namun aku berlari sekuat tenaga dengan perasaan kacau dicampur dengan emosi yang sedang kucoba menahan. Tampaknya, benteng yang aku ciptakan tersebut, akhirnya bobol. Aku tak menyangka, semua itu bisa membuat diriku kehilangan kontrol. Wajahku yang selalu tersenyum dan penuh warna itu, menjadi kusam dan tidak ada semangat. Terhenti dari pijakanku yang jauh lebih cepat dari biasa, aku menundukkan kepala. Menarik napas dalam-dalam, mengatur perasaan dan akhirnya, kututup dengan berteriak kencang.

Aku kembali menjadi seorang anak laki-laki yang lemah. Lemah dan rasanya ingin menangis sekencang mungkin. Kenapa? kenapa efek ini bisa terasa sejauh ini? aku tahu perjalanan yang sebenarnya masih jauh dari kata 'dimulai', hal itu menyadarkan ke diriku, bahwa aku masih seperti yang dulu. Aku kembali berpikir, bahwa ini hal yang aku harus terima dengan ikhlas. Apabila aku masih seperti ini terus, aku yakin hal ini akan bisa menjadi masalah suatu hari apabila aku berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku harus bisa mengatur pikiranku dengan lebih tenang

Ayah pernah bilang
"To train your mind, you must first train your body.."

Terlintas kalimat tersebut dibenakku. Aku menyadari kesalahanku. Pikiranku kembali kacau karena aku terlalu memikirkan hal tersebut. Aku harus lebih rileks, baik pikiran dan badanku. Untuk kembali menjernihkan pikiranku ini, aku harus lebih banyak berolahraga. Yang mana secara langsung, akan dapat membuat kita jauh lebih fresh dan pikiran kita menjadi lebih jernih.

dimanche 10 mai 2009

Tekanan Hidup

Masalah atau tekanan hidup adalah bagian dan kehidupan di dunia dan tidak seorangpun yang dapat mengelakkannya. Hidup di dunia penuh dengan masalah dan tekanan. Usaha yang aku lakukan dengan sekuat tenaga terkadang hanya membuahkan sebuah himpitan yang berat dan bukan menjawab akan suatu pertanyaan namun justru melahirkan pertanyaan baru. Bagaimana supaya aku tetap kuat dan sabar di dalam tekanan hidup yang kian hari kian berat terasa dalam menjalani. Dimana akhir-akhir ini aku merasa, bahwa aku tidak sekuat dulu. Aku tidak bisa menahan rasa penat yang ada di hati. Aku tidak bisa lagi tersenyum ketika dibutuhkan.

Ciri-ciri orang yang dapat dikatakan dewasa, adalah bukan dari umur atau fisik semata. Tetapi dari cara ia memandang kehidupan dan bagaimana caranya mengatasi suatu permasalahan. Aku sadar dan tahu bahwa hidup itu pilihan, namun terkadang, hidup ini tidak memberi aku banyak pilihan. Ada saatnya dengan lapang dada, aku harus bisa menerima semua resiko dan tekanan dalam kehidupan ini. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar dapat menyikapi semua permasalahan dan tekanan tersebut dalam era globalisasi seperti sekarang ini?

Ibarat sebuah ban, jika dipompa sesuai ukuran akan bagus untuk digunakan, tapi jika diberi tekanan angin berlebihan akan meledak. Satu hal yang kita tidak boleh lupa, jika ban itu tidak diberi tekanan berupa angin, maka ban tersebut tidak berguna. Demikian juga hidup, tekanan bisa kita jadikan momentum untuk maju, walau selangkah demi selangkah. Umumnya orang yang mampu memanage tekanan hidup akan bersikap lebih dewasa dan akan lebih berarti dalam menjalani hidup. Tapi orang yang tidak mampu keluar dari tekanan, hidupnya biasanya akan jalan stagnan, mundur atau bahkan hancur berkeping-keping seperti ban yang kelebihan tekanan.

Aku selalu bertanya, apa rasa penat yang kurasakan akhir-akhir ini? apakah itu ingin mengatakan ada suatu tekanan yang tak terlihat? atau memang hanya sekedar lewat dan semua akan kembali normal?

Kecemasan tidak jelas yang aku rasakan, aku simpan baik-baik di hati. Aku yakin bahwa hal ini bisa jadi merupakan kekuatan utama yang menggerakkan pada masa kebangkitan diri. Inilah mata air yang memberikan energi untuk bergerak dan bergerak, melangkah tertatih-tatih sembari jatuh dan bangun, meraba dalam ketidakpastian. Namun bagaimanapun jua aku bergerak walau dalam tekanan. Banyak orang yang mengatakan aku terlalu berlebihan. Kembali lagi ke pertanyaan yang pernah kutulis di postingan sebelumnya. "Yang mana lebih sakit? jatuh untuk yang pertama kalinya? atau jatuh untuk kesekian kalinya?"

Aku merasakan, walaupun tidak tertulis dan disebutkan. Aku tahu ada beberapa tekanan yang mengisi hatiku ini. Aku tahu semua mendukung, namun semakin jelas akan hal itu. Justru hal tersebut memberiku tekanan tersendiri. Apakah itu yang kurasakan? Tekanan yang menghimpit pola pikirku? yang membuatku merasa tidak bebas untuk melangkah dalam menjadikan diri ini sebagaimana seharusnya menjadi? Langkah yang gagah penuh percaya diri, menjadi pelan dan dikabuti oleh rasa cemas dan tanda tanya.

Life goes on, apapun yang aku rasakan. Sedih dan bahagia, aku yakin bahwa itu akan menjadi kenangan tersendiri. Tetapi harus diakui, bahwa sebelum mencapai tahap menjadi kenangan, sungguh tidak mudah untuk menjalakannya, terutama seorang diri.

vendredi 1 mai 2009

Smile for Others

Aku melangkahkan kaki dengan pelan menuju tempat dimana aku selalu dapat menikmati angin bertiup sambil memandang langit. Entah ketika langit itu sedang berwarna biru dengan awan putih dan kilauan dari cahaya matahari, ataupun ketika langit sedang gelap disertai kilat dan turunnya air membasahi bumi. Keadaan apapun langit itu, yang pasti ketika aku duduk di tempat tersebut, hatikupun merasakan berbagai perasaan. Baik ketika aku sedang lelah, sedih, bahagia, kangen atau hanya sekedar ingin berpikir.

Aku selalu merasa, ketika aku duduk di tempat tersebut. Aku bisa mengatur keadaan jiwa ragaku. Yang ketika aku senang, aku bisa berbagi rasa senang itu ke orang sekitar disekitar. Berbagi canda tawa dan membuat orang lain tersenyum, memang merupakan keinginanku. Aku selalu memilih agar orang lain terutama mereka yang penting bagiku untul selalu senang. Setidaknya ketika kurva senyuman mereka luntur dengan wajah yang tidak bercahaya, aku akan berusaha membuat mereka kembali tersenyum. Namun apa yang terjadinya ketika keadaan berbalik?

Ketika aku sedang merasakan kesedihan yang kusimpan di dalam hati ini? aku berharap ketika berada di tempat tersebut, akan ada orang yang sedang sedih melewati atau duduk di dekatku. Bukan bermaksud untuk membagi dan saling bercerita rasa sedih itu, tetapi ketika aku melihat orang (khususnya yang penting bagiku sedih) entah kenapa perasaan sedihku hilang, kurva senyumanku akan muncul.

Aku menyadari terdapat keanehan dari penjelasan diatas, namun jangan salah paham. Aku tersenyum bukan karena ada yang sedih atau lebih menderita dariku. Tetapi melihat keadaannya yang sedih, aku pasti akan berusaha untuk ceria dan mencoba menghiburnya. Lebih baik aku yang sedih ketimbang mereka sedih. Namun akhir-akhir ini, aku merasakan menjadi orang yang lemah. Aku mulai kehilangan kelebihan tersebut, apa karena masalah yang kuhadapi sekarang sudah bertumpuk? atau memang jiwa ragaku sedang berada pada stagse sensitif?

Nenek pernah bilang
"False tears are capable of hurting other people, false smiles are capable of hurting one's self"

Aku teringat akan kalimat diatas, apa yang tertulis ternyata benar. Setidaknya seorang gadis mengingatkanku, bahwa tersenyum ketika kita sedih memang bagus, tetapi itu dapat melukai diri sendiri. Memperlihatkan sisi asli kita, memang bukan hal yang negatif. Ketika kita sedih, kita harus dapat menunjukan bahwa kita sedih.
Aku selalu mencoba untuk menutupi perasaan ini, tetapi rasa khawatirku selalu ada. Berapa lama aku dapat bertahan dalam kondisi seperti ini? Yang pada akhirnya, aku harus sadar bahwa sebenarnya "i'm not okay".